c | Sumpah Mematikan | Journey To Northen Light

Sumpah Mematikan

Sesampainya aku di dalam kelompok membaca.. Aku menjadi pusat perhatian. Semua mata memandangku. Diantara deretan anak-anak yang ku lihat, ada satu wajah baru yang menatapku berbeda. Seorang peerempuan yang mengurai rambut hitam lebatnya. Dia menatapku seakan menatap benda menjijikan. Entahlah.. apa itu hanya tebakan konyolku yang tak menyukai orang asing. Aku berusaha mengabaikannya, lalu duduk di samping Vim.

" Jangan terlalu lama menatapnya." bisik Vim. Aku hanya mengangguk. Tak lama.. kami dapat sebuah buku yang menceritakan tentang terjadinya hujan. Lalu setelah itu anak-anak mulai bubar. Seperti biasa.. aku dan Vim duduk disofa teras belakang. 

" Perempuan itu bermuka dua." Tiba-tiba Vim memulai percakapan. Membuatku menutup buku, lalu duduk menghadap padanya. 

" Siapa?"

" Perempuan yang kau tatap heran tadi. Namanya Riri Riana. Dia orang yang sangat ramah. Tapi hati-hati.. mukanya ada dua." jelas Vim begitu seriusnya. Kedua matanya yang terbuka lebar, membuatku tertawa geli. Aku tak tahu apa dia jujur atau sekedar ingin menjelekkan perempuan itu. Karna Vim bukan tipe orang yang suka basa-basi. Dan perlu diingat, dan ku garis bawahi kalau Vim begitu ahli dalam mengarang cerita. Dalam arti baik.

" bagaiman kau tahu?" 

" tentu saja.. dulunya dia ikut kelas kelompok membaca. Tapi waktu kelas 3.. sebelum kedatanganmu, dia memutuskan vakum. Lalu entah kenapa dia harus kembali lagi kemari." Cerita Vim lebih lanjut.

" Lalu menjadikan tempat ini nyaris seperti neraka." suara Vin terdengar kesal.

" kini aku harus seharian merasakan neraka didekat wanita iblis itu. Karna diapun sekelas denganku." Oceh Vim sembari menutup mukanya dengan buku beberapa saat, lalu menampakan mukanya kembali dengan cepat.

" Asal kau tahu saja.. dia sangat bangga ketika mengatakan dia adalah keluarga bupati." Vim masih bercerita disebelahku sembari membuka-buka bukunya dengan kasar. Seakan hal itu hanya bentuk ekspresi kejengkelannya terhadap kedatangan anak perempuan bernama Riri Riana tersebut.

" Sungguh? "

" ya.. Hal itu seakan diibaratkan seperti kerajaan.. dan dia bagian dari putri-putri terhormat." Vim menggelengkan kepalanya dengan jijik.

" itu lucu." potongku.

" kenapa?" Vim penasaran, lalu menutup bukunya.

" Kekuasaan orang lain tak dapat dijadikan senjata appaun. Kepribadian seseoranglah yang terpenting.. bukan darimana dia berasal, brand tas apa yang ia gunakan, atau.. dia keluarganya siapa? karna itu akan nampak aneh.. ketika kau menceritakan padaku kau anak orang paling kaya dan aku orang baru disini. Hal itu tak akan berpengaruh apapun, karna tak semua orang mempercayai ucapan." Vim yang agak kebingungan menganggukkan kepalanya. Entah apa yang ia pikirkan, pandangannya menuju ke langit-langit mendung yang menangungi kami.

" Hei.." tiba-tiba dengan manja Riri Riana duduk tanpa permisi diantara aku dan Vim.

"Yang tadi mengantarmu itu Arka kan?" Tiba-tiba ia bertanya sembari membelakangi Vim.

"Kau.. gadis yang pulang pergi bersama Arka waktu kita SMP dulu kan?" Lanjut Riri Riana. Sejujurnya aku pernah melihat gadis yang Vim sebut iblis itu. Kini aku ingat kalau dulu dia sekelas dengan Arka.

" ya.. Aku pulang pergi bersama Arka." Jawabku membuat Riri Riana mengangguk. Lalu ia memandangku lama..

" jangan-jangan kau suka padanya?" tebaknya.

" Whaaat?" Terlalu banyak huruf a yang ku ucapkan.

" Dulunya dia salah satu laki-laki tampan disekolah. Dan kau dekat dengannya.. kau pasti bangga bukan?" Aku tertawa konyol mendengar pendapatnya. Lucu saja bila ia berpikir demikian. Tapi bagi diriku sendiri." Aku bangga berteman dengan semua orang yang menghargaiku.. termasuk Vim." aku menujuk ke Vim. Namun Riri Riana terkekeh, Seakan menganggapku hanya bercanda.

" Kau teman curhatnyakan?" Tiba-tiba teka-teki lain keluar dari mulut Riri Riana.

" ya.. tentu saja. Aku dan Vim sahabat. Kami saling menceritakan banyak hal." Riri Riana menggeleng.

" maksudku Arka." Katanya. Aku bingung darimana Riri Riana mengetahui itu. Padahal jelas-jelas aku tak pernah menceritakan tentang Arka pada siapapun, termasuk Vim. Atau barangkali Riri Riana hanya menebak?

" Ba-bagaimana kau tahu?" Mendadak aku gagap. Dan Riri Riana nampak begitu percaya diri.

" Nyaris semua orang tahu." Riri Riana menatapku dalam-dalam. Ingin menekankan kalimat tersebut. " 
kau menyukainyakan?" pertanyaan itu lagi. Nampaknya ia tahu banyak hal tentang kami.

" kami hanya berteman." Bantahku.

" sumpah?" katanya memaksa.

" ya.." jawabku singkat. Bingung. Juga tak sempat berpikir kenapa dia ingin mengetahui betul hubungan kami.

" Demi Allah?" Kenapa Riri Riana harus mengatakan itu.

" ya.." aku membela diriku. Malu saja mendengar orang yang selama ini aku anggap baik, seorang malaikat pelindung, tiba-tiba ternyata iapun menceritakan rahasiaku pada orang lain. " Aku.."

" Arzalea.. shtutt.." Vim mengangkat jari telunjuknya ke bibir. Membuatku tak sempat menyelesaikan sumpah mematikan itu.

" Kau sebaiknya pergi.. aku dan Arzalea harus membaca sebelum diskusi dilakukan." Vim membelai lembaran buku yang ia bawa. Ia mengusir Riri Riana secara halus. Membuat mata Riri Riana terbelalak, menunjukan seakan ia tak pantas diperlakukan demikian, lalu berlalu begitu saja. " jangan bersumpah sembarangan! jangan dengarkan ucapan perempuan iblis itu." Vim memarahiku. Aku hanya berkata ya.. aku tak sempat bersumpah. dan ku harap itu bukan kesalahan.

" Tunggu.. tunggu.. jadi kau mengenal Arka?" kemarahannya tiba-tiba lenyap. Lalu mencondongkan 
kepalanya. Aku mengangguk seperti orang babal.

" Aku sekelas dengannya, Lea. Dia teman baruku dikelas." Aku mengangguk. Membuatnya tersenyum semu.

" Apa itu benar kau teman curhatnya?" tanyanya membuatku menggerakkan kepalaku ke bawah. 

"kenapa aku baru tahu?" Kini ia seperti kehilangan Akal. Matanya menerawang jauh ke langit-langit disamping kanan kami.

" karena kau tak pernah bertanya." Jawabku pelan. Aku merasa baru lima menit yang lalu memulai percakapan yang menguras akal ini. Tiba-tiba si cerewet Amira langsung meminta kami berkumpul untuk berdiskusi. Betapa anehnya dunia ini? Waktu berjalan secepat itu tanpa dapat mengizinkanku mengerti beberapa hal.

Seperti yang sudah-sudah.. aku duduk disamping Vim. Terkadang hal itu membuatku merasa seperti hewan peliharaannya. Tapi aku tak memiliki satu temanpun selain dirinya ditempat ini. Bahkan nyaris satu-satunya orang asing yang dekat denganku selain Arka. Betapa anehnya diriku! Aku tak mengerti akan kehidupan yang berjalan disekelilingku. Kebanyakan membuatku kesal. Ingin ku teriakan perasaanku yang berkecamuk, Tapi aku tak memiliki kesempatan itu. Karna aku tahu hasilnya hanya akan memperburuk keadaan. Aku tak mengerti beberapa hal yang berada disekitarku, lalu mengapa aku berpikir sedemikian tidak masuk akalnya, sampai-sampai aku tak memiliki kawan yang mendukung apa yang ku pikirkan. Ku sadari dengan sangat.. bahwa aku tidak seperti mereka. Aku berbeda. Aku aneh. Terkadang aku bingung dari mana otakku dibuat, apakah dari tempat buangan sampah-sampah bekas pembuatan otak orang-orang disekitarku. Lalu menjadikanku orang aneh.
Mata Riri Riana melirikku ditemani senyum yang merekah dari bibirnya. Seharusnya itu wujud keramahannya. Tapi rasanya malah seperti iblis yang siap menarikku ke kobaran api neraka. Pandangannya begitu menghancurkan, bahkan membuatku tak mampu melupakan percakapan kami tentang Arka. Apa Arka benar-benar menceritakan semuanya pada Riri Riana? Atau pada semua orang? Tapi bila hal itu hanya tebakan Riri Riana, bagaimana mungkin Riri Riana begitu menuntut jawaban akan perasaanku terhadap Arka?

" Hiasi hidupmu dengan mimpi.. lalu gapailah dengan mengambil jalan seperti hujan yang turun. Karena salah satunya akan membawamu pada tempat terbaik yang kau inginkan." ucapan Amira mulai mengeser bayangan Arka. "Wow.. Quote yang bagus." Lanjut Amira enggan dengan ekspresi penolakan. "Tapi seharunya hidup itu mengalir, menikmati segala yang Tuhan berikan. Jadi ketika kau terjatuh.. kau tak akan kesakitan." sekali lagi Amira mengeluarkan pendapatnya. Tapi kali ini kedengarannya ia sedang mempengaruhi. Seakan tidak meluruskan orang-orang yang memiliki mimpi. Hal itu membuat mataku tercengang memandangnya.

" Apa kau tak punya mimpi?" pertanyaanku membuat seluruh mata memandangku dengan ganjil. Dari sorotan mata sekilas yang ku lihat.. Ada yang kebingungan, Ada yang terheran-heran, ada yang menyetujui pertanyaanku.. ada pula yang hanya memandangku. Termasuk Amira.

" Tidak.. tidak sama sekali. Menurutku mimpi itu bayangan.. semua orang memiliki angan-angan. Mereka hidup dalam pikiranku setiap melihat hal-hal yang mereka sukai." Jelasnya tenang.

" Bukan.. Mimpi adalah rencana.. semacam sebuah tujuan." bantahku.

" Tidak.. mimpi adalah angan-angan. Bermimpi adalah kau mengharapkan sesuatu yang begitu jauh, yang bahkan sulit untuk bisa mencapainya. Mimpi membuatmu berharap, lalu beberapa detik kemudian menghancurkanmu ketika kau menyadari siapa dirimu." Meski ucapan Amira begitu tenang, dan diucapkan dengan sejelas mungkin, tetap saja nampaknya itu bukan yang sebenarnya terjadi. Barangkali karena aku mendukung orang-orang seharusnya memiliki mimpi. Jadi rasanya tak mungkin bila ada seseorang yang tak memiliki mimpi. Dan itu membuatku berpikir konyol.

" Bagaimana kau.. Bagaimana kau bisa hidup tanpa mimpi?" Aku masih tak habis pikir.

" Begitu mudah.. Hanya mengalir mengikuti suratan takdir. Mensyukiri dan menikmati segalanya. Begitulah kehidupan sesungguhnya." Aku menggeleng dengan penuh penolakan. Karena bagiku.. mimpi itu sendiri adalah sebuah rencana kehidupan yang ingin di capai. Aku punya mimpi, itu sebabnya aku melakukan banyak hal untuk tetap mempertahankan kehidupanku. Untuk tetap bertenaga. Untuk tetap mempertahankan kehidupan yang terkadang diluar dari batas pikiranku.

" Apa tidak ada yang memberitahumu, bila kau berusaha keras memperjuangkan keinginanmu, kaupun akan mewujudkannya."

" ya.. Aku pernah mendengarnya, Lea. kau akan mewujudkannya kalau berusaha." Vim mewakili Amira yang masih terdiam ditempatnya. Diskusi inipun menegang. Lalu berakhir begitu saja.

Aku langsung pulang tanpa menunggu Mum. Pikiranku begejolak dalam dunia penuh pertanyaan.. antara mimpi-mimpiku yang membuatku tidak bersyukur dan menikmati kehidupanku? atau tentang Arka yang bertingkah seperti penghianat. Ku ketuk pintu rumah Arka dengan tenaga kemarahan yang merajai jiwaku. Setiap bunyi pukulan yang ku ciptakan, menghasilkan nada-nada rusak. Semakin kuat gedorannya, semakin membuatku tak sabar menemui malaikat berhati iblis itu. Lalu akupun tersadar ketika tangan kananku merasa sakit akibat memukul pintu rumah Arka terlalu keras.. Bahwa Arka sedang tidak dirumah. Ku putuskan membalikkan badan—berniat pulang. Namun sepertinya takdir tak mengizinkan.. Baru beberapa langkah ku gerakan kakiku melewati perkarangan rumah Arka. Ku lihat Arka tengah berjalan gempoyongan dari arah barat dengan paluh sebesar biji jagung. Seperti biasanya.. Ia selalu tersenyum setiap kali melihatku, seakan surga sudah berpindah padanya. Tapi tidak untuk hari ini.. Untuk pertama kalinya aku berang menatap senyum itu. Membuat pikiranku memberi tanda pergerakan begitu cepat pada kakiku.

" Apa yang kau katakan pada teman kelasmu?" ku dorong dadanya dengan jengkel ketika sudah berada didepannya.

" Ada apa, Ar?" tanyanya bingung. Ia berusaha meraih tanganku. Barangkali berniat menggengamnya, lalu memenangkan kejengkelanku dengan pesonanya.

" Jangan bermuka dua lagi. Mereka tahu kau teman curhatku.. kau bahkan bilang.. aku menyukaimu?" dengan jengkelnya aku berteriak didepannya. Arka menggeleng, masih menampakkan senyum manisnya yang diikuti lesung pipit.

" Arzalea, tarik nafas.. dan kau.."

" Cukup Ar, jangan mempermainkan ku lagi." Kini suaraku datar.
"Jangan lagi." Lanjutku dengan menggelengkan kepala.
"Rasanya sakit, melihat orang yang kita percayai berubah menjadi iblis." Ku katakan lambat-lambat agar ia meresapi maksudku.

" Apa maksudmu, Ar? Tarik nafas.. buat dirimu tenang.. lalu ceritakan padaku.." mohonnya sembari berusaha menggapai pundakku. Tapi aku menghindar.

" Bila kau tidak mengatakan pada teman-temanmu.. bagaimana mungkin mereka berpikir aku menyukaimu? bahkan sampai memintaku bersumpah demi Allah?" Arka mendadak membeku. Ia terperanjat.

" Ja-di apa yang kau katakan?" Dengan suara parau ia merespon ucapanku. Aku malah kaget mendengar perbedaan itu
" Ka-u bersumpah?" Suara paraunya putus-putus. Ku pandangi mata kegelisahannya sejenak. Berusaha mencari arti dari perpedaan yang ia nampakkan. Tapi aku tidak bisa menangkap apapun. Dengan berat, sempat menyelipkan kedua bibirku ke dalam. Aku menjawab

" ya.." Sekonyong-konyong Arka mendekatkan kepalanya padaku.

" Ka-u ti-dak menyukaiku?" Arka bertanya begitu pelan. Bahkan membuat kepalanya tertunduk. Sejujurnya sulit untukku mengerti perasaan apa yang membebaniku kini.

" Apa yang kau katakan Ar? Kita hanya berteman." Jawabku meyakinkan diriku. Arka menatapku begitu dalam. Aku berusaha menerawang hal-hal yang ia sembunyikan. Namun kini tatapannya melamun, pikirannya melayang entah kemana. Lalu tiba-tiba mengalihkan pandangnnya ke bawah. Membuatku merasa diabaikan.  " Arka.." ku dorong pundaknya dengan kesal. Berniat ingin menyadarkannya bahwa aku masih dihadapannya.

"Jadi siapa yang mengatakan itu padamu?" tatapannya gusar. Aku terdiam.
"Katakan padaku siapa yang mengatakannya, Ar?" nada suaranya tinggi.

" Apa yang ingin kau lakukan?"

" aku akan membunuhnya bila perlu!" tegas Arka dengan intonasi tinggi. Matanya menunjukan kemarahan yang sangat. Tak mampu ku bayangkan bilamana ia menemui Riri Riana. Aku tahu.. tak mungkin untuknya memukul gadis itu.. tapi bisa saja.. hal lebih buruk dari itu.

" Kalau begitu aku tak akan memberitahu."

" Apa kau gila, Arzalea?" Serunya keras. Aku hanya perlu namanya, aku perlu bertanya kenapa dia menyebar fitnah tentangku? Lalu mengadu domba kita seperti ini!" ia masih mempertahankan suara tinggi itu. Sakit sekali melihatnya berubah ganas seperti ini.

" Aku tidak akan memberitahumu." Aku tetap bersih kukuh. Takut masalah ini semakin meluas, Lalu berdampak menyakiti Arka sendiri. Sebut saja bila ia tega memukul Riri Riana. Arka pasti akan dianggap sinting.

" kalau begitu pilih aku atau dia?" ancamnya dengan suara dara. Aku terheran-heran, nyaris tak yakin mendengar pilihan yang ia berikan padaku. Itu adalah ancaman paling memalukan dari seorang teman.
" Bila kau memilih aku, katakan padaku siapa orangnya? bila kau tak mengatakannya.. lebih baik kita tidak usah berteman lagi.." Arka memberi peringatan paling jahat yang pernah ku dengar.

" Bagaiman bisa kau berkata.." aku nyaris kehilangan akalku. Bahkan nafasku. Sulit sekali bagiku menangkap udara untuk tetap mengisi tubuhku.
"Yaa Allah.." aku menggeleng dengan sedih.
"Hanya karna aku tak memberitahu namanya, kau tak mau berteman dengaku lagi?" ku perjelas maksud Arka.

" Ya.. itu hal terpenting untuk meluruskan masalah ini. Itu satu-satunya bukti nyata yang akan membuatmu percaya padaku.."

" fantastik." Pekikku membuat pergerakan Arka terdiam.

" Aku bahkan ingin melupakan kejadian itu.. bila saja kau jujur mengakui kesalahanmu."

" ini bukan kesalahnku, Arzalea." Bantahnya tegas. Aku menatapnya keheranan, memikirkan setan apa yang telah menguasainya.
" oh kau memilih dia dari aku?" aku tertegun. Sepertinya ia mendapatkan kesimpulan dari sikap diamku. Bila saja tebakannya tidak.. barangkali aku langsung akan mendengarkan penjelasannya. Tapi ucapannya malah menjengkelkan.

"Tentu aku akan memilih dia.. bukan lelaki seegois dirimu.." kebohongan itupun terucap ketika melihat Arka bersikap sejahat itu.

"Bagus.. kalau begitu pergilah, dekati orang itu lalu ceritakan mimpi-mimpimu padanya!" pekiknya dengan jengkel. Lalu ia berjalan menuju rumahnya dengan cepat. Aku kebingungan menghadapi sikapnya. Ingin ku tarik tangannya, tapi aku sudah terlanjur berada diposisi yang menjengkelkan.

" Tentu saja aku akan melakukannya.." Jeritku ragu-ragu.

" Dia tak akan pernah menceritakannya lagi ke orang lain." Kali ini ku keluarkan suaraku sekeras mungkin, berharap membuatnya berubah pikiran. Tapi ia hanya menoleh sembari terus melangkah menuju pintu masuk rumahnya.

"Kalau begitu lakukan." Perintahnya sinis. Tangan kanannya dihempaskan, seakan menyuruhku pergi saja.

" Aku akan menemuinya.." aku masih memekik sekeras mungkin. Arka yang sudah berada didepan rumahnya terhenti mendengar itu. Lalu menoleh padaku.

" Bagus.." ia menunjukan jari jempolnya, Lalu membuka pintu rumahnya.. dan masuk secepat mungkin. Aku sungguh kesal melihat perlakuannya. Hingga membuatku menghentakan kaki dengan keras ke aspal. Lalu membalikkan badan untuk pulang. Ku pikir rumahku masih kosong. Tapi malah ku lihat Ayah di meja makan, menyantap mie kuah dengan lahapnya. Kejengkelanku membuatku tak terlalu memperdulikannya, Aku langsung duduk disofa.. memandangi lemari-lemari tua yang sudah disulap mum menjadi perpustakan kecil dirumah kami. seharusnya ini tempat menonton tv, tapi karena Mum lebih suka anak-anaknya membaca, iapun menguabh tempat ini.

Sesekali aku menghentakan kapalaku ke penyangga empuk sofa. Ku harap hentakannya dapat merobohkan ke sintinganku.

" Kau kenapa, Lea?" dari suaranya ayah terheran-heran. Aku menolehnya sekilas sembari menggelengkan kepala. Sedetik kemudian ku dengar suara mie yang ia sedot. Lalu setelah suaranya berakhir, beberapa detik kemudian ayah kembali bertanya.
" Kenapa kau tak menunggu Ibumu?"

" tidak.. aku ingin cepat sampai rumah." Jawabku singkat, bernada jengekel, dan berusaha menyelesaikan ucapanku buru-buru.

" Kau ingin ayah memasakan mie juga?" kini aku menutup mata dengan kesal. Bertanya-tanya sendiri.. kenapa ketika satu hal menghancurkan hari terbaik, tiba-tiba semua hal ikut-ikutan menghancurkannya?

" Ayah taukan aku tidak menyukai mie. Makanan cepat saji tidak baik untuk kesehatan." kali ini suaraku yang loyo berupa teriakan. Membuat ayah beberapa saat menghentikan kunyahannya. Meski setelah aku mengalihkan pandanganku darinya, ia melanjutkannya.

" Apa kau baik-baik saja, Lea?" Tiba-tiba ayah bertanya.

" Aku baik-baik saja, Yah. Selalu baik-baik saja." Ku eja jawabanku perkata. Entah kenapa dia langsung menerima jawaban itu. Biasanya.. tidak semudah itu berbohong padanya.
" Sholatlah diluar sholatmu." Ayah kembali memulai percakapan. Membuatku penasaran mendengar kalimat yang barusan ia ucapkan. Lalu aku menoleh padanya.
" Apa kau tahu sesuatu, Arzalea?" Tanya ayah.
"Allah sudah mengajarkan banyak hal pada kita. Termasuk kejujuran. Barangkali kau bisa membohongi ayah atau siapapun manusia didunia ini.. tapi kau tak bisa membohongi hatimu.. dan hal itu perlahan akan membuka semuanya." Akupun menghela nafas untuk menyegarkan tubuhku yang penuh kekesalan Arka, lalu menoleh ke ayah.

" Apa maksud ayah? ayah ingin aku sholat diluar waktu sholatku?" Aku tertawa kecil, berusaha menenangkan ketololanku sendiri. Lalu tiba-tiba sendok yang ia genggam ia biarkan begitu saja di mangkuknya, lalu menatapku dalam-dalam.

" Biarkan ayah bertanya padamu, Arzalea! Berapa rokaat kau sholat setiap magrib bila ada orang?" Aku menggeleng binggung.

" 3" jawabku merasa ganjil mendengar pertanyaannya. Aku sudah cukup tua mengetahui itu.

" Kalau tidak ada orang?"

" tentu saja 3 rokaat, Yah!" Itu pertanyaan konyol. Pikirku.

" Apa kau menyadarinya, Lea? Allah mengajarkan kita kejujuran, bahkan ketika kita tidak menyadarinya. Kau selalu sholat magrib 3 rokaan, ada orang maupun tidak ada." Pandangannya sungguh-sungguh ingin aku meresapi perkataannya.
" Sholatlah diluar sholatmu. Sholat ataupun tidak, seharunya kau tetap memegang teguh kejujuran itu, Lea." Aku semakin terheran-heran oleh diriku sendiri. Aku bahkan tak pernah memikirkan tentang sisi lain dari sholat. Aku hanya tau sholat adalah berdoa, hanya itu. Tapi kini aku mengerti, begitu banyak hal yang tersembunyi dibalik segala hal yang bahkan terkadang sudah menjadi kebiasaan kita. seharusnya aku mengulasnya.

" Aku ingin kau memegang teguh prinsip itu, Arzalea. Dimanapun." lanjutnya.
" Aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja, bahkan sudah jelas tereja oleh tatapan matamu.. tapi kini kelihatannya sudah lebih baik." Ia tersenyum sesaat, Lalu melanjutkan memakan mienya yang hampir habis.

Semua hal mulai berputar-putar dalam pikiranku. Seluruh pertanyaan.. bahkan.. beberapa hal yang terjadi hari ini tak mau berhenti membuatku bertanya-tanya mengenai bagaimana semestinya kehidupan ini berjalan. Atau yang paling mendasarnya.. Bagaimana aku harus hidup?

" Yah, apa ayah pernah menginginkan sesuatu yang lebih?" Aku masih memandang kejauhan lewat dinding kaca didepanku. Lalu aku menoleh ayah.
"Sesuatu yang terkadang sulit untuk digapai?" Ku alihkan pandanganku ke kedua tanganku sejenak. Aku tak pernah berpikir Aku tidak bisa mencapai mimpiku.. tak bisa membangunkan perpustakaan untuk mum. Aku tak pernah sekalipun berpikir seperti itu. Aku selalu berpikir aku bisa. Aku selalu meyakini beberapa hal yang sulit diyakini ketika menatap kenyataan. Karna aku percaya dimana ada harapan, disitulah aku memiliki kesempatan.  
" Sesuatu yang begitu memutari pikiran ayah terus menerus. Sesuatu yang ayah pikir akan membuatmu bahagia. Barangkali seperti melihat surga!" aku menertawakan ucapanku. Aku terdiam memandanginya.  " Lalu ayah putuskan untuk menggapainya."

" Tentu saja." Sahutnya.

" Apa itu buruk, Yah? maksudku.. apa itu tidak normal? Aku ingin membangunkan Mum perpustakaan, agar ia bisa menikmati tempatnya lebih lama sekaligus menjadi Ibu. Dan.. apa aku gila, Yah? Bermimpi ingin mengelilingi dunia ini.. menikmati berbagai musim yang berlalu dengan beragaman suasana? " Ayah cekikikan menunjukan deretan giginya.  " Amira-Pemimpin kelompok pembaca diperpustakaan.. Ia pikir seharunya kita tidak hidup dengan mimpi. Dia pikir mimpi hanyalah angan-angan. Hal itu membuat kita tidak mensyukuri dan menikmati apa yang Allah berikan." Keluhku pada ayah.

" Kalau begitu dia salah mengartikan kata mensyukuri dan menikmati."
" Kita bersyukur, bukan berarti kita tidak boleh bermimpi, Lea. Kau tahu bersyukur? bersyukur itu berterimkasih atas segala yang kau miliki. Sedangkan menikmati.. berarti kau menjalani hidupmu dengan sungguh-sungguh—Bahagia. Bukan berarti kau tidak bisa menginginkan yang lebih."  " Dikatakan bahwa.. dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. " Sejujurnya aku lupa bagian itu.. atau yang sebenarnya aku malah tak tahu? Tapi tidak dengan ayah. Aku yakin ayah tak membohongiku. Dia seseorang yang patuh, dan begitu mendalami agama. Kalau aku barangkali bisa disebut islam keturunan. Dan itu menyedihkan untuk diingat.
"Menurut ayah.. mencari penghidupan disini bersangkutan dengan kehidupan kita sehari-hari. Seperti mencari ilmu, bekerja.. ayah rasa.. termasuk meraih mimpi." Jelasnya.
" Apa kau tahu Lea.. Sejak ayah kecil.. ayah ingin mengunjungi Mekah. Nyaris tak masuk akal saudagar kaya seperti ayah tak bisa melakukan itu. Tapi dulunya ayah hanya terus memikirkan masa depan anak-anak ayah. Ayah pikir semakin banyak ayah membuka usaha, akan semakin terang masa depan kalian. Lalu ayah pikir.. akan lebih baik bila ke mekahnya setelah semua usaha itu berhasil. Tapi ayah salah." Ia menggeleng penuh penyesalan.
" Seakan dengan jari telunjuk yang diputar-putar. Apa kata kuncinya? Bim salabim! Kita bangkrut." Ia masih teringat kejadian menyedihkan itu.
"Seharusnya ayah tidak bisa bermimpi lagi.. apalagi lebih dari setengah gaji ayah, Ayah setorkan untuk membayar hutang kita. Tapi tidak. Mimpi ayah untuk kesana malah semakin kuat. Ayah malah semakin bersyukur atas segala yang ayah miliki sekarang." Penjelasannya melampaui batas.
" Jangan biarkan dirimu sendiri berkata tidak bisa pada mimpimu, Lea. Jangan!" Ia menggeleng penuh permohonan.
" Percayalah kau bisa melakukannya! Kau hanya harus bekerja lebih keras ketika kau gagal, lebih keras, dan lebih keras lagi! Maka kau akan mendapatkannya!"
"Kau tahukan.. Allah bisa melakukan apapun."

" Aku tahu, Yah." Sahutku.

"Lagi pula dia yang menghidupkan aku." Aku tersenyum, membuatnya mengangguk. 

Sejak saat itu.. kekacauan melanda pikiranku. Tentunya segala hal tentang Arka. Ia seakan membawa sebagaian nafasku, Lalu menyisakan penghidupan setengah yang hanya dapat membuatku bertahan. Sejujurnya aku punya kesempatan untuk memminta maaf pada Arka, lalu kembali padanya. Karna keesokan harinya.. ketika aku membuka pintu rumahku.. ku lihat Arka baru melangkah beberapa langkah dari pintu rumahnya. Tapi karna keegoisan telah menguasai diriku.. aku lebih memlih kembali menutup pintu ketimbang meminta maaf padanya. 

Dan tentang mimpiku, aku berusaha lebih keras dengan menabungkan seutuhnya uang jajanku. Lalu aku membawa minuman dari rumah. Ketika teman-temanku mengajakku ke kantin, aku berkata pada mereka kalau aku sudah kenyang, Lalu aku pun membuka buku, iseng-iseng menunggu bell masuk berbunyi. Dan hasilnya lebih baik.. nilaiku pun berangsur-angsur naik.

Setiap hariku berubah tak terkendali.. Aneh, tepatnya. 

Kini, selain Arka.. teman curhatku adalah Vim. Aku bukan tipe orang yang semudah itu menceritakan masalahku pada orang lain, biasanya.. aku menanganinya sendiri, lalu setelah semuanya kelar, aku baru mau bercerita. Malah terkadang sulit bagiku membagi hal menyedihkan pada orang lain. Tapi tidak dengan Arka—dengan egoisnya, tanpa memikirkan kesedihan atau beban yang akan ia pikul, Aku selalu menceritakan segalanya padanya. Segalanya-galanya. 

Tapi kini.. ia sudah tak disampingku. 

Aku menceritakan pada Vim tentang apa yang terjadi padaku dan Arka. Ini tidak biasanya. Aku bahkan tak pernah menceritakan apapun tentang Arka padanya. Hanya.. kali ini rasanya begitu menyiksaku. 

" Seharunya kau tak boleh seperti itu." Vim merespon curhatku. Membuatku mengalihkan pandanganku dari langit biru yang dilapisi awan-awan putih. 

" Tapi dia memberiku pilihan konyol. Seakan tak mau bersahabat denganku." Sangkalku sembari memukul buku yang Amira berikan tadi. Entah apa judulnya, aku malah lupa. Tak terlintas dibenakku sama sekali. 

" Yang ku tahu ia bukan orang yang suka bercerita hal pribadi." Vim kembali membela Arka. Aku tambah jengkel. Lalu mengalihkan pandanganku darinya. 

" kau hanya baru mengenalnya." Bantahku.


Share:

0 komentar